Sekeping cinta

Jumat, 19 November 2010

GALAU!!

GALAU!

Barusan berlayar di sebuah blog seorang teman, membaca sebuah puisi tentang kegalauan jiwanya… dan tanpa kusadari, kegalauan itu ikut menghampiriku dalam waktu sekian menit.. perasaan yang entah baiknya disebut apa,, seakan aku merasakan sesuatu yang begitu dekat, tight, dan membuat hatiku seakan menyesak sampai tenggorokan..

Feeling is hard to explain, you know that.. Tak perlu alasan yang logis bagiku untuk ikut merasakan suatu kemarahan yang berlari menuju ubun2. Suatu desakan yang membuatku melawan segala macam penurunan kondisi fisik yang tengah berlangsung saat ini, melawan palpitasi, melawan nyeri di suatu tempat di rongga cranium, melawan mata yang menjerit minta dipejamkan,, melawan segala sesuatu yang melarangku untuk tetap terjaga agar aku bisa meluapkan rasa yang tengah menyesak, “tularan rasa” tepatnya yang singgah beberapa saat yang lalu,, ya.. tak perlu alasan logis atau rasional jenis apapun untuk melakukan itu semua.

Ah.. you will not understand! And no body will understand ketika sesuatu yang nyaris menjadi milikmu lantas dipindahkan Allah kepada makhlukNya yang lain, yang dirasa lebih tepat memiliki itu

No body will understand ketika sesuatu yang sangat kamu cintai, sesuatu yang sedang kamu genggam erat tiba2 terbang dan melayang ke belahan bumiNya yang lain,, yang hanya membuatmu terduduk dan menekur, mengeluarkan tetes demi tetes butiran bening dari kedua kelenjer air matamu..

Ah.. no body will understand ketika seorang makhluk Allah mengangkatmu jauh ke atas, dengan segala cinta, dan membuatmu seakan sanggup menyentuh awan, namun tiba2 ia berpaling sehingga kamu jatuh terduduk ke bumi, kembali ke tanah dalam keadaan setengah hancur.. tanyakan padaku bagaimana rasanya kawan, ah.. itu sakit!nyeri! perih! Bahkan jauh lebih nyeri ketika kamu mengalami cedera medulla spinalis!!!

Ah… no body will understand ketika makhluk Tuhan datang kehadapanmu dan memuliakanmu seakan kamu adalah ratu sejagad, namun saat yang sama ia berbalik pada dunia dan menertawakanmu, dan melakukan hal yang sama pada ratu lain, persis saat kamu merasa seakan kamu sudah melanglang jauh mencapai pintu langit pertama

Ah… no body will understand ketika “sesuatu” atau “lain hal” tidak terjadi pada dia atau mereka.. Mereka tidak akan mengerti kawan,, karena mereka, para manusia soleh dan soleha akan menasihati kita tentang sesuatu yang mereka sebut dengan “keikhlasan”!

Ah…. No body will understand coz it didn’t happen to them!!! Jangan berbicara tentang keikhlasan atau serangkaian kata sabar and stuff… Marahlah kawan jika kamu memang ingin marah, teriaklah kawan jika kamu memang ingin teriak, lemparkan semua yang bisa membuang rasa kesal, sedih, cemburu, dan semua yang membuatmu sesak.. menangislah jika memang tetesan2 bening itu meminta izin untuk keluar, dan minta ampunlah padaNya jika itu akan membuatmu tenang, jangan pernah dengarkan kata mereka yang tidak mengerti arti “sesak” di dada, jangan acuhkan mereka yang mengatakan “itu salah ini salah”, jangan pandang mereka ketika mereka katakan, “sudah.. ikhlas saja lah..”, jangan pedulikan mereka karena mereka tidak mengerti apa itu “perih” sampai mereka merasakan itu sendiri!!!

No body will understand, honey… karena saat ini kita ada pada titik GALAU!!!

*Saat kegalauan itu menyapa tanpa harus ada alasan yang adekuat untuk membuatku tetap terjaga, melawan semua kantuk dan palpitasi yang datang tiba2,,kadang dalam hidup, sesuatu terjadi begitu saja dan tidak membutuhkan alasan yang adekuat mengapa kita harus marah, benci, cemburu, sedih, menangis, bahkan memaki…namun, tetap berharap semoga Allah mengampuni ungkapan kegalauan yang terungkap dengan kepala yang tidak lagi berada pada suhu yang stabil..

#Teman… hang in there, just believe that u still can touch the sky..

*Mendekati tengah malam, Jumat, 19 November 2010, bumi Allah

Kamis, 18 November 2010

Just short story 1

Tuhan, Bolehkah Aku Membenci Seorang Laki-laki Soleh dan Seorang Perempuan Soleha?

Hi, namaku Nisa, lengkapnya Annisa Rahmatullah. Annisa artinya perempuan, sedangkan Rahmatullah artinya yang dirahmati Allah, jadi Annisa Rahmatullah berarti perempuan yang dirahmati Allah, begitulah kata Mama, seorang wanita indah yang memberiku nama awal aku melihat dunia. Aku adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran, Jurusan Ilmu Keperawatan, Universitas Andalas. Saat ini aku berada di semester enam, meski masih ada satu tahun lagi untuk mendapatkan gelar S.Kep (Sarjana Keperawatan), namun aku sering hanyut membayangkan satu hari dimana aku mengenakan kebaya, dan namaku dipanggil “Annisa Rahmatullah, S.Kep”. Saat itu aku akan berjalan ayu ke atas mimbar untuk menerima ijazah S1 ku. Dan lebih indah lagi setelah profesi Nersku selesai, dan namaku menjadi Ns. Annisa Rahmatullah, S.Kep.

Indah jika membayangkan saat itu, dan tentunya akan sangat indah karena saat itu, aku akan didampingi oleh mereka-mereka yang mencintaiku, papa, mama, kakak, adik-adikku, dan seseorang yang telah berhasil meletakkan selembar namanya di sebuah ruang kecil di sisi hatiku. Ehm….. seseorang yang… u know what

Perjalanan kuliahku sejauh ini alhamdulillah lancar. Aku selalu semangat menjalani kuliahku dan hari-hariku. Tidur cuma sekian jam dan waktu kuhabiskan untuk menyelesaikan tugas, organisasi, belajar, dan tentunya berbagi dengan seseorang tadi, seseorang yang sudah kuceritakan padamu sebelumnya, teman. Seseorang yang secara fisik tidak berada di sampingku ketika aku membutuhkan bahu untuk menangis, karena ia bekerja nun jauh disana. But well, meski secara fisik ia tidak ada, namun suaranya, pesan-pesannya, komentar-komentarnya pada status Facebook-ku, dan semua tentang ia mewarnai setiap detik perjalananku, mengubah setiap jengkal tanah yang kupijak menjadi taman bunga, yang membuatku tetap berlari meski kaki-kakiku lelah seakan mengalami Osteo Sarcoma, membuatku tetap tersenyum meski kadang ada duri yang masuk ke kakiku seakan aku kejang karena tetanus, dan membuatku langsung tersenyum setelah menangis berhari-hari karena nyeri akut yang membuatku seakan merasakan mati 99 kali sebelum aku benar-benar mati. Dan dia adalah dia, seorang makhluk Allah yang bersembunyi malu-malu di balik setiap girus dan menyusup melalui arteriku, masuk ke heparku, menempati sebuah ruang kecil disana dan dengan mesranya mengklaim bahwa ruangan itu adalah miliknya, membuat kepingan-kepingan rasa yang ada menjadi terlalu nyata untuk dijadikan suatu kebohongan. Dia adalah satu dari sekian makhluk Allah, teman.. yang akan kuceritakan kepadamu J

-----------------------------------------------------------------------

Tit..tit…. sebuah pesan masuk.

“Dinda,bangun! Tahajud yuk…. :)”, dari Kakak, 02:44:15.

Tanpa menunggu detik selanjutnya berlalu begitu saja, aku bangun. Dengan kesadaran penuh, aku menuju kamar mandi, berwudhu, sholat Tahajud, sholat Witir, dan mengakhiri kegiatanku dini hari itu dengan beberapa bait ayat-ayat cinta dari Ilahi, ditutup dengan ungkapan syukur, “Allah, aku bersyukur atas segala nikmat yang Engkau berikan padaku, yang tak mungkin bisa aku sebut kata demi kata, namun aku hanya bisa mengucap syukur, syukur dan syukur atas bertetes-tetes rasa cinta yang Engkau berikan padaku atas segala hal indah dalam hidupku, termasuk makhlukMu yang baru saja mengingatkanku untuk kembali berduaan denganMu malam ini, terima kasih Ya Allah”.

Pagi ini, di kampus, seorang senior datang menyapaku, “Nisa, bagaimana kabar imanmu pagi ini, dek?”.

“Hhm…. Hehehe….. “, aku membalas dengan tertawa.

“Lah.. uni tanya kondisi imannya koq malah tertawa?”. Uni tadi memperhatikan ekspresiku dengan wajah berkerut. I guess, mungkin dalam hatinya, beliau bergumam, “Hhm… ne anak depresi atau mania ya? Ditanya kabar iman koq malah tertawa?”. Aku masih berada dalam imajinasi anak-anakku ketika beliau menyentuh lembut bahuku, “Sa… ga pa-pa kan?”, beliau tampak khawatir.

Sekejap, aku langsung kembali ke alam nyata, dan tanpa harus menunggu komando dari otak, aku langsung menjawab, “Eh.. ga pa-pa uni, Nisa ke kelas dulu ya,, dadah uni…. ", aku berlalu dan tersenyum. Uni tadi kemudian buru-buru menjawab, “Assalamualaikum dek”. Aku masih sempat mendengar samar, dan aku menjawab dalam hati, “Waalaikumsalam uni”

Well, you know what…aku tidak paham banyak tentang agama ini, dan aku bukanlah seorang alim atau pendakwah atau apapun itu. Aku adalah seorang wanita biasa yang mencari cinta Tuhan dengan jalanku sendiri, karena sebuah keyakinan bahwa ketika aku mencari dengan hatiku sendiri tanpa ada intervensi apapun dari orang lain, maka aku akan bisa bertanggung jawab atas diriku, mempertahankan keadaanku dimanapun aku berada. Aku menutup aurat, dengan ukuran jilbab standar yang menutupi dadaku, tidak menggunakan pakaian ketat, dan menyukai rok panjang, meskipun adakalanya aku memakai celana jeans. Entah benar entah salah, ada suatu keyakinan dalam diriku bahwa mungkin, Allah tidak memandang seseorang dari ukuran jilbabnya, meski aku tau kalau mungkin seseorang dengan jilbab besar, yang di kampusku disebut akhwat, lebih baik dari wanita dengan segala yang berukuran standar seperti diriku. Dan aku percaya bahwa, U CAN’T JUDGE .. bahwa seseorang dengan ukuran jilbab yang menyentuh abdomen lebih soleha daripada seorang wanita dengan jilbab hanya sampai thorak, meski mungkin hal itu akan sangat jarang terjadi, but please… jangan berlaku seperti itu, karena hal tersebut hanyalah hak prerogatif Allah, menurutku…..

Tit..Tit… sebuah sms lagi.

“Dinda, maaf… sepertinya kakak akan jarang menghubungi dinda akhir-akhir ini. Ada masalah yang membutuhkan pemikiran untuk menyelesaikannya. Kakak akan sangat sibuk sekali, mohon pengertiannya ya. Rajin-rajin belajar biar lekas tamat! J”. Dari kakak, 15:23:23.

Dan seperti biasa, tanpa harus menunggu puluhan detik berlalu, tanganku langsung memencet tombol-tombol untuk membalas sms dari dia yang disana.

It’s okay kakak, semoga Allah memudahkan jalan kakak”. Terkirim, 15:25:14.

Aku tau sms itu singkat, karena aku tak bisa berkata banyak, karena kata-kata itu terbang bersama angin yang membawa hatiku ke seberang sana. Seperti meninggalkan separuh jiwaku di seberang sana, meski aku tau bahwa tiba-tiba ada sebongkah cemburu yang muncul, karena keegoisanku bahwa dia tidak pernah menduakanku sebelumnya dengan pekerjaan, kecuali dengan Tuhan dan RasulNya pemilik segala rasa, aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa, “Sa.. everything will run well, and he’ll be okay! Trust him, Sa!!!”. Dan tanpa sadar, aku telah meletakkan kepercayaanku bulat-bulat pada sebuah gelas kristal, bersamaan dengan hatiku di sana, seakan tidak akan ada makhluk lain yang berniat untuk lewat dan memecahkan gelas kristalku, seakan Allah Yang Maha Penyayang benar-benar telah menitipkan makhuk itu padaku.

Hubungan kami bukanlah “In a relationship” seperti status-status yang bisa dilihat di FaceBook, karena kami tidak mau mendefinisikan “Pacaran” sebelum seseorang halal bagi yang lainnya. Again, aku bukanlah seorang ustadzah yang mengerti soal agama atau apapun tentang hukum bagaimana jika begitu atau bagaimana jika begini, yang aku tau dengan pikiran dangkalku adalah bahwa rasa ketertarikan pada lawan jenis itu indikasi bahwa aku adalah gadis normal ;-), dan rasa yang muncul itu juga karena ada Ar Rahiim, itu adalah fitrah, dan sejauh rasa itu tidak menyaingi rasa pada Sang Pemilik Rasa, maka aku akan mempertahankan itu dengan menjaganya sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan Allah, meski aku yakin setiap orang akan memiliki persepsi masing-masing tentang ini, tapi aku terus mencari dan belajar untuk menjaganya.

Karena itulah, saat malam dipenuhi bintang, aku dan dia membuat suatu kesepakatan, bahwa kami akan berjalan dengan jalan ini, memutuskan untuk tidak “berpacaran” setelah melakukan SWOT atas kondisi yang ada. Aku yang tidak begitu mengerti agama hanya siqoh karena aku percaya dia. Aku percaya bahwa, menurutnya, “Kita lebih baik tidak pacaran dinda, sebelum dinda siap”, dan aku memang tidak “siap” untuk menikah pada saat ini. Aku percaya bahwa dia akan sabar menunggu sampai aku benar-benar siap untuk menikah. Aku percaya bahwa kami akan bertahan dengan kondisi seperti ini dan tak kan ada ancaman dalam bentuk apapun. Aku percaya…. Aku katakan aku percaya karena aku telah meletakkan kepercayaan dan hatiku bulat-bulat di dalam gelas kristal itu…

Beberapa hari kemudian, sebuah sms dari yang terkasih membangunkanku lagi.

“May I cal you, Dear?” Dari kakak, 22:15:48

“Sure, I’m waiting!J”. Terkirim, 22:18:53

Dengan kondisi somnolen karena lelah seharian beraktivitas di kampus, aku bangun, kupaksakan bangun untuk mendengar suaranya. Dan beberapa menit kemudian, kesadaranku mencapai kondisi optimal ketika aku menerima panggilan darinya.

“Assalamualaikum dinda”.

“Waalaikumsalam kak”

“Sudah tidurkah?”

“Sudah bangun, hehehe…”

“Ah.. maaf, memaksamu bangun. Bagaimana kuliahnya?”

“Alhamdulillah kak, everything run nice”.

“Sudah sholat Isya belum?”

“Udah dunk…”

“Sudah makan?”

“Hohoho… finished!”

Fine kan?”

Sebelum menjawab aku sempat bingung, “kenapa terlalu banyak basa-basi dan terlalu meyakinkan keadaanku?” Hatiku berlari-lari cemas, menakutkan hal yang mungkin akan disampaikannya beberapa menit lagi. Dengan segala kekuatan yang ada, aku menguatkan suaraku dan bertanya, “Ada apa kakak?”

“Hhm….. ada yang ingin kakak bicarakan”.

What’s about?”

“Hhm… tentang taaruf”.

“Maksudnya?”, aku berusaha mencari jantungku, takut kalau-kalau jantung itu pindah ke kolong tempat tidur.

“Ya… jika dinda mengizinkan”.

“Aku bingung. Maksud kakak apa?”.

Kemudian dia bercerita tentang seorang akhwat yang bermaksud baik, ingin bertaaruf dengan dia. Seorang akhwat yang kukenal baik, seperti kakak perempuanku sendiri. Cerita itu mengalir panjang, dengan tak lupa mengingatkan bahwa, antara aku dan dia memang tidak ada hubungan apa-apa, kami tidak pacaran dan hubungan kami tidak bernama. Cerita itu mengalir panjang dan aku hanya diam dengan tetes-tetes bening yang turun seperti hujan yang mengalir deras namun tanpa suara. Aku marah, kesal, cemburu, dan semua warna itu bercampur mengakibatkan suatu nyeri dengan skala yang tidak bisa kubahasakan dengan bahasa manusia. Dengan kelabilan emosi, aku berkata, “Okay, let’s finish all!!”

Aku berharap dia akan menarik ucapannya kembali, tapi ternyata jam tidak selalu berputar sesuai dengan waktu yang aku harapkan. Dia memberikan taujih singkat, “Dinda,, akan lebih baik jika kita belajar untuk menjaga hati dan hidup dengan cara yang diridhoiNya. Jadilah dinda yang baik”.

Perpisahan singkat itu masih aku terima dengan mencoba ikhlas karena pesan-pesan terakhirnya yang mengingatkanku untuk menjaga hati dan menjalani kehidupan dengan cara yang diridhoiNya. Fine, aku terima karena sebelumnya ia mengatakan bahwa ia memutuskan untuk tidak bertaaruf dengan akhwat tadi. Ia hanya ingin memberitahuku bahwa ada seseorang yang datang kepadanya dan ia TIDAK hendak bertaaruf dengan akhwat tersebut. Namun ia mengatakan bahwa jalan kami selama ini SALAH. Seakan anak kecil yang bodoh, aku berfikir bahwa, ia sedang berusaha untuk melakukan “laundry hati” karena selama ini hatinya terkotori oleh kehadiranku. Seakan aku bukan manusia yang juga punya hati, aku menyalahkan diriku dan melapangkan hatiku bahwa aku seharusnya tidak meneteskan tinta hitam di setiap perempatan kehidupannya, karena ia adalah seorang yang mengerti agama, ia soleh, dan ia berhak untuk menjalani kehidupan dengan cara yang lebih diridhoi. Aku berfikir bahwa, ia memang betul-betul dalam proses mengembalikan hatinya agar berwarna putih kembali.

Sampai suatu saat, aku menemukan hal yang tidak kuduga dari dunia maya. Perkembangannya sangat cepat seperti Ca servik stadium akhir, dan tubuhku tiba-tiba lunglai seakan aku baru divonis menderita Leukimia Granulositik Kronik yang disarankan untuk membuat surat permintaan maaf kepada seluruh orang yang mengenalku sebelum Izrail datang menjemputku. Ia dan sang akhwat yang pernah diceritakannya padaku beberapa saat yang lalu, saling berbagi perhatian, berbagi kemesraan, berbagi taujih, berbagi komentar tentang hadist ataupun ayat Al Quran yang baru saja diposting, atau apapun itu. Seakan tidak ada gravitasi lagi, tubuhku tiba-tiba lunglai seperti kehilangan bobot. Seakan ada benda asing yang sangat berat yang menimpa kepalaku, tinggiku tiba-tiba menciut dan membuatku merasa bahwa aku adalah salah satu dari tujuh kerdil dalam Snow White, atau apapun itu.

I just can’t stop wandering, “Kenapa ia menyuruhku untuk menjaga hati padahal dari aktivitas yang mereka lakukan di dunia maya, ia dan akhwat tadi malah tidak menunjukkan contoh yang ia katakan kepadaku?” Aku benci dengan “taujih menjaga hati” atau “taaruf” atau apapun namanya. Yang aku tau sekarang adalah mereka jahat. Tiba-tiba saja aku ingin mengadu dan memeluk mamaku erat, “Ma.. mereka jahat! Mereka mengikuti langkahku, mengajakku berlari dan bermain, namun tiba-tiba mereka menyandungku dan membuatku jatuh, terluka dan berdarah. Ma.. mereka jahat! Mereka tinggalkan janji dan cerita yang membuatku melayang, dan ketika tanganku hampir menyentuh awan, aku jatuh berkeping-keping ke tanah, namun mereka malah tertawa mesra di belakangku. Ma, aku ingin menghapus mereka hingga tak satu noktahpun yang tersisa dari mereka Ma, karena mereka jahat Ma!! Mereka Jahat!!!”

Tiba-tiba ada luka disana, sayatan-sayatan kecil di salah satu ruang hati dengan nyeri yang tidak bisa kujelaskan dengan bahasa manusia, yang membuatku bertanya, “Apakah memang seseorang dengan ukuran jilbab mencapai abdomen memang lebih soleha daripada seseorang dengan ukuran jilbab hanya sampai thorak? Apakah taaruf atau apapun namanya yang diselingi dengan berbagi perhatian, kemesraan, komentar, atau yang mereka sebut taujih atau apapun itu lebih mulia daripada sebuah hubungan tanpa nama, yang dengan kerja keras selalu dijaga agar tidak membuat Allah cemburu, dengan kecintaan pada Allah dan Rasul sebagai tolak ukurnya? Sebenarnya… kehidupan ini diatur oleh periketuhanan atau perikemanusiaan kah?”

Dan pada akhirnya, dengan suara serak dan tetesan-tetesan bening yang tertahan pada glandula lakrimalku, aku bertanya, “Tuhan.. bolehkah aku membenci seorang laki-laki soleh dan seorang perempuan soleha? Sedikit saja….. please…..”

Assyfa Khair

Sabtu, 26 Desember 2009

Surat cinta Untuk Ama

Tempat yang memisahkan, pertengahan Desember 2009

Untuk Ama, Malaikat duniaku

Assalamualaikum Ma, sehatkah? Berjuta rangkaian kata aku bisikkan, semoga Allah Yang Maha Mendengar senantiasa memberikan kesehatan pada fisik dan jiwa Ama, menyirami kekuatan dan kesabaran di hati Ama, dan menghiasi hati Ama dengan berbagai kebahagiaan.

Ma..kemarin, hari ini, dan InsyaAllah besok dan seterusnya, aku ingat Ama. Kadangan aku bingung Ma untuk mengibaratkan Ama seperti apa dan bagaimana. Ama seperti udara, selalu mengelilingiku kemanapun aku pergi, yang aku hirup setiap tiga detik. Ama seperti air… mengalir dalam kerongkonganku dan menghilangkan hausku, mengganti cairan tubuhku sehingga aku tidak mengalami dehidrasi. Ama juga seperti sel darah merah yang mengaliri pembuluh darahku, masuk ke otak sehingga aku enjadi segar dan bisa belajar, mengalir di antara otot-otot tubuhku sehingga aku bisa bergerak. Ama juga seperti sel darah putih, yang berperang melawan kuman-kuman yang masuk ke tubuhku, melindungi dari penyakit dan menjaganya agar tetap sehat.

Namun, dari segala perumpamaan itu Ma.. ternyata aku sadar kalau Ama adalah seorang wanita sederhana yang dijadikan Allah sebagai malaiakat yang menjagaku di dunia. Segala perumpamaan itu bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan Ama yang sebenarnya.

Ama… seorang wanita yang selalu menelponku jika sampai hari Jumat aku belum mengabarkan pulang atau tidak, dan Ama bertanya, “Nak… sehat? Minggu ini pulang? Kapan pulang, nak?”. Ungkapan kerinduan yang dalam dan jujur.

Ketika aku katakan bahwa aku tidak bisa pulang karena ada acara kampus, banyak tugas, sibuk, dan sederetan alasan klasik lainnya, Ama tidak pernah menunutu apa-apa. Ama tidak pernah mendesak untuk memenuhi kewajibanku, “pemenuhan kerinduan”, tapi Ama menekan segala ego, menahan rindu, dan dengan tulus mengatakan, “Kalau memang sibuk, ya ga pa-pa…Rajin-rajin belajar di Padang ya nak, jaga kesehatan”, dan Ama selalu menutup pembicaraan dengan harapan yang malu-malu, “Kalau misalnya ga ada kegiatan atau ga sedang sibuk, pulang ya nak..”.

Ma…. Betapa kata-kata yang diucapkan dengan lembut itu terasa bagaikan embun yang sangat sejuk di pagi hari. Ungkapan rindu yang, bagiku begitu romantis, namun tidak egois. Tanpa harus menggombal, setiap kalimat yang Ama ucapkan adalah kalimat cinta, yang membuatku jatuh cinta setiap saat Ma… jatuh cinta dengan seseorang yang dijadikan Allah sebagai Malaikat Penjagaku di dunia, dan dia adalah Ama.

Semoga Allah, Sang Pemilik Cinta meneteskan cinta ini ke dalam hati setiap anak, sehingga setiap anak jatuh cinta pada Malaikat Penjaga mereka, seperti yang aku rasakan kepada Ama kemarin, hari ini, dan InsyaAllah besok dan seterusnya…

Pada hari ketika kerinduanku mencapai ubun-ubun,

Assyfa Khair